Oleh : Galih Thaher Rizal
Tiga Belas Tahun reformasi seharusnya mampu menjadi sebuah momentum untuk bangkitnya kembali peran mahasiswa di tengah hiruk pikuknya ke(tidak)bijakan pemerintah terhadap rakyat. Namun ironisnya ketika apa yang mereka sebut para pejuang rakyat telah berhasil mewujudkan sebuah perubahan reformasi ke arah yang lebih baik gerakan mahasiswa seakan nyata telah termarginalkan dan terperosok hanya menjadi kekuatan pinggiran dalam pergulatan perpolitikan demokrasi para kaum elite politik serta menjadi budak demokrasi yang kebablasan di negeri sendiri. Tidak hanya itu, sekterianisme seolah telah siap menjangkiti pada diri mahasiswa pada saat sekarang ini, sentimentil pribadi yang terbawa ke dalam arus kehidupan organisasi telah membuat dalam satu tubuh perjuangan itu menjadi terdikotomi, “bahwa pendapat saya yang paling benar.” Tuntutan kekayaan kearifan lokalpun tidak lagi menjadi salah satu pedoman dalam melakukan gerak langkah perjuangan untuk membela rakyat dari penindasan Tiga Belas tahun pasca reformasi.
Cita-cita awal gerakan mahasiswa adalah mewujudkan kehidupan negeri ini menjadi lebih baik. Mengerti dan memahami arti serta makna demokrasi yang sebenarnya. Tak pelik pada saat sekarang ini banyak orang yang merindukan kehidupan pada masa Soeharto berkuasa, bukan tuntutan untuk mengakui Hak Asasi Manusia yang pada masa itu terabaikan namun rakyat melihat betapa tentramnya negeri ini. Julukan “Macan Asia” pernah menjadi salah satu kebanggan Ibu Pertiwi, bahan pangan, sandang, dan papan tidak cukup sulit didapatkan, tingkat kejahatan dan kriminalitas tidak sebesar pada masa reformasi saat sekarang.
Fakta tersebut telah jelas menerangkan betapa nistanya gerakan mahasiswa saat ini, terasing dari proses demokrasi yang tadinya mereka perjuangkan dan semestinya mereka ikut dan aktif mengawal dan mengisi proses demokrasi itu dengan agenda-agenda yang merupakan kepentingan rakyat. Namun, seiring dengan berjalannya Tiga Belas tahun era reformasi, gerakan mahasiswa mulai kehilangan tonggak arahnya. Banyaknya organisasi ekstra kampus yang mendominasi gerak mahasiswa dan menyebabkan gerakan menjadi kabur. Gerakan mahasiswa cenderung destruktif terhadap negara sehingga menciderai arti “demokrasi.” Soe Hok Gie pernah berkata, “gerakan mahasiswa adalah gerakan moral. Gerakan moral digambarkan dengan pahlawan yang muncul untuk mengatasi kekacauan dan segera menghilang saat kekacauan itu mereda.” Hal inilah yang seharusnya tertanam dalam diri tiap mahasiswa.
Kebangkitan pemuda yang dimulai pada era 1908 kemudian era sumpah pemuda 1928 melahirkan tokoh-tokoh besar kepemudaan kala itu yang akhirnya berada pada lingkar kekuasaan di masa berikutnya. Begitu pula dengan berlalunya peristiwa reformasi 1998 dan tokoh-tokoh yang membawanya yang mana pada saat sekarang ini merekalah yang memainkan bidak catur perpolitikan Indonesia. Dan pada akhirnya sebelum mahasiswa turun terjung langsung kepada masyarakat, pembelajaran demokrasi kampus terbentuk. Hal tersebut menguatkan bahwa mahasiswa adalah aset bangsa dalam memimpin negara ini di masa yang akan datang. Namun dalam faktanya, mahasiswa kebanyakan tidak peduli terhadap pembelajaran demokrasi ini. Lalu bagaimana dengan fungsi mahasiswa sebagai pengawal masyarakat? Yangmana di masyarakat yang sesungguhnya akan bergulat dengan perpolitikan demokrasi? Sungguh fakta yang cukup mencengangkan bagi kaum intelektual.
Demokrasi negara ini semakin kebablasan dan menimbulkan problem baru bangsa, yaitu hegemoni parpol. Rentetan pemilu menjadi ajang transaksi busuk yang mencemari etika demokrasi. Multi partai semakin memperlihatkan kepongahannya dan menunjukkan demokrasi yang tidak substantif. Reformasi dibajak oleh elit politik dan memburamkan nalar etik demokrasi kita. Pertama, parpol dengan wakilnya di DPR mengeluarkan konstitusi yang tidak berpihak kepada rakyat tapi mendukung hegemoni asing menjarah kekayaan Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam isi UU penanaman modal asing, UU Migas, dan UU lainnya yang lebih memihak kekuasaan asing. Kedua, Parpol semakin menunjukkan laku politik yang miskin program untuk rakyat tapi kaya program untuk kepentingan kelompok partai dan elite politik di Senayan. Ketiga, parpol semakin otoriter dalam meraup keuntungan atas transaksi demokrasi.
Kembali Mengokohkan Gerakan mahasiswa
Kekuatan mahasiswa yang dulu mengangkat isu keterbukaan demokrasi harus mengambil jalan perjuangan untuk mengembalikan nalar etika demokrasi. Ali Syariati mengatakan, “Misi suci kaum intelektual atau cendekiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat bukan memegang kepemimpinan politik negara. Dan melanjutkan kewajiban dalam membangun dan menerangi masyarakat hingga mampu memproduksi pribadi tangguh, kritis, independen, dan punya kepedulian sosial tinggi.” Pendapat Syariati tersebut menguatkan argumen bahwa pencerdasan civil society sangat penting dalam demokrasi kita. Masyarakat yang cerdas akan memunculkan pemimpin yang baik dan juga memunculkan konstitusi yang bermutu serta pro kepentingan rakyat.
Bahwa gelar kehormatan sebagai mahasiswa telah tersematkan ketika masa transisi mereka beralih ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Perguruan Tinggi, dan pada saat itu pulalah amanah perjuangan telah terpatrikan secara nyata.Gerakan mahasiswa ala Soe Hok Gie sudah berlalu, klimaksnya pada 1998 yang menggulirkan rezim Soeharto. Memasuki satu dekade lebih pasca Reformasi, pola gerakan mahasiswa berubah, dari extra parliamentary strategy demi menuju optimalisasi semua bentuk kerja advokasi. Kaum intelektual seperti gerakan mahasiswa akan terus ada dan tumbuh untuk menjaga nalar etik demokrasi. Mereka adalah penjaga kebenaran dan selalu akan menjadi aktor eksekusi bagi kekuatan tiran. Mengokohkan kembali gerakan mahasiswa sangat penting bagi perjuangan gerakan. Menolak tunduk terhadap hegemoni parpol adalah pilihan logis sebagai gerakan sosial independent dan gerakan ekstra parlementer.Kamipun secara pribadi berharap kepada semua organisasi mahasiswa kampus yang ada mampu mengambil dan mengembalikan kembali peran dan arti yang sebenar-benarnya dalam konteks perjuangan mahasiswa. Amanah yang telah dititipkan pendahulu kita yang telah berkorban dengan darah dan nyawanya kepada kita semua sudah saatnya dilaksanakan secara substantif hingga mengena ke seluruh lini perjuangan demokrasi. 3 hal yang tidak akan pernah lepas dan menjadi suatu alasan bagi mahasiswa untuk berjuang serta mengabdi bagi rakyat adalah “Mahasiswa merupakan Agent of change, Agent of social control, and Iron Stock.” (Ketua PK IMM FH UMM 2009/2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar